Cerita seorang perempuan Litfin
Tite Hena
Ibu Litfina adalah
anak dari Keluarga Suku Koten yang tinggal di komunitas Adat Leworok Desa Lera
Boleng kecamatan Titehena Flores Timur. Sejak berumur 2 tahun Lutfina sering
bersama ibunya menenun. Di saat ibunya menenun Litfina asyik bermain benang
layaknya orang dewasa memintal benang. Apabila ayahnya melakukan ritual adat
maka Litfina selalu diajak. Sejak kecil Litfina selalu mengikuti kedua orang
tuanya sewaktu melaksanakan ritual –ritual adat dan pada malam hari Litfina
selalu setia mendengarkan cerita –cerita dari bapaknya tentang asal usul
leluhurnya, dan juga rangkaian pristiwa sejarah yang terjadi di kampung
Leworok.
Dengan terinspirasi
dari cerita yang disampaikan oleh kedua orang tuanya dan juga mengalami secara
langsung prosesi ritual adat maka ibu Litfina merasa terpanggil untuk berjuang
mempertahankan warisan budaya dari leluhurnya.
Setiap hari tangan
ibu Litfina tak pernah diam bersama alat tenunnya, dan juga kedua telapak
tangannya selalu kotor oleh ramuan pewarna.
Kepada kaum perempuan
di komunitas Leworok Ibu Litfina selalu memberikan motifasi dan spirit. Ibu
Litfina juga sering membagi biji kapas untuk ditanam pada musim tanam padi.
Tidak hanya
memperjuangkan tentang nilai-nilai budaya akan tetapi di komunitas adat
memperjuangkan tentang tanah dan wilayahnya sejak Zaman penjajahan belanda.
“Tokoh pejuang
masyarakat adat Leworok yang melawan kolonial Belanda pada tahun 1914 yang
sering dikenal oleh komunitas adat leworok Kuda Duru. Kuda Duru menentang
Belanda karena Pemerintahan Kolonial Belanda menerapkan sistem Kerja Rodi. Kuda
Duru tidak mengijinkan sukunya bekerja atas paksaan Belanda. Karena dituduh
membangkang terjadilah perang pada tahun 1914 antara Belanda melawan Kuda Duru.
Dalam pertempuran tersebut seorang perwira Belanda tertembak dan Kuda Duru
tertangkap. Kuda Duru kemudian di penjarakan di Kupang”. Sepintas kata Litfin
Lanjut Litfin
menjelaskan”Untuk memperingati tokoh pejuang Kuda Duru maka komunitas Adat
Leworok mengadakan upacara kemerdekaan pada tgl 17 Agustus dengan upacara Adat.
Tgl 17 Agustus 2014 masyarakat Adat Leworok akan memperingati satu Abad
perjuangan Kuda Duru bersama masyarakat adat melawan Belanda.
Bukti perjuangan
masyarakat adat Leworok melawan Belanda terlihat pada pelataran rumah adatnya
(Koken) yang dikelilingi oleh onggokan batu besar yang dijadikan benteng
pertahanan,dan di salah satu rumah adat juga masih tersimpan bekas peralatan
senapan’’
Kembali mempertahankan budaya menenun
Menenun adalah tradisi budaya yang diwariskan oleh leluhur sejak dahulu sampai sekarang ini untuk mentukan
kemandirian hidup masyarakat adat dalam
mempertahankan hidup. Kali ini tulisan ini akan mengisahkan perjuangan bagi
perempuan adat yang mempertahankan budaya menenun.
Litfina
Lito Kelen adalah seorang perempuan yang sampai saat ini masih
mempertahankan budaya menenun. Litfina ini tokoh perempuan yang di
komunitas Leworok sebagai perempuan yang mempertahankan budaya warisan leluhur.
Pada tahun 2011 dikomunitas adat
Leworok ibu Litfina Lito Kelen membentuk Kelompok tenun yang
namanya Tapik Balik. Pada awalnya kelompok tenun itu beranggota
9 orang kemudian meluas menjadi 4 kelompok tenun ikat perempuan. Kemudian dalam
perjalanan 2 kelompok bubar dan berahli usaha ke simpan pinjam. Dan untuk saat
ini kelompok Tapik Balik mempunyai keangotaan sebanyak 15 orang dan ibu Litfina
menjabat sebagai ketua kelompok.
“Tapik Balik”
adalah nama kelompok tenun ikat kelompok perempuan di komunitas Leworok
kecamatan Titehena kabupaten Flores Timur yang artinya” Kembali seperti dulu”.
Maksudnya kaum perempuan kembali menenun seperti dahulu. Latar Belakang pemberian
nama kelompok terinspirasi dari kondisi real kehidupan kaum perempuan di
komunitas Leworok yang semakin menjauh dari pekerjaan menenun karena
dipengaruhi oleh situasi kemajuan modenisasi saat ini. Nama ‘Tapik Balik” juga
bermaksud ajakan dan keharusan menghargai warisan leluhur.
Alasan pemberian nama kelompok ini
karena kondisi kehidupan perempuan sudah mulai jauh dari situasi yang
sebenarnya sesuai dengan tradisi
kehidupan leluhur.
Menurut Ibu
Litfina
kelen bahwa keadaan sekarang sangat sulit bagi ibu-ibu
untuk kembali menekuni pekerjaan sebagai penenun. Alasan mereka menenun adalah
pekerjaan yang terlalu lama dan sulit apalagi kalau kembali menenun dengan
bahan baku asli. Para ibu dan gadis desa lebih suka mengikuti arisan, usaha
simpan pinjam atau pekerjaan yang lebih cepat menghasilkan uang. Dengan keadaan
demikian, nilai – nilai budaya khususnya pengetahuan tradisional warisan
leluhur di Komunitas Leworok semakin memudar.
Menyadari keadaan
demikian, ibu Litfina dalam refleksinya menemukan beberapa trik untuk
menghidupkan kembali pekerjaan menenun yang dulu ditekuni oleh kaum perempuan
suku “Koten Kellen Hurit Maran”
Pada suatu hari Ibu
Litfina mengutarahkan isi hatinya kepada suaminya, bahwa ia sangat prihatin
dengan kehidupan kaum perempuan yang sudah berpaling dari pekerjaan menenun
yang sudah diwariskan dari leluhur dan ia ingin agar pekerjaan menenun
dihidupkan kembali agar warisan pengetahun menenun tetap dipertahankan untuk
diwariskan ke generasi berikutnya. Mendengar keluhan dan keinginan dari ibu Litfina
akhirnya suaminya bersedia untuk membantu. Kemudian ibu Litfina mengajak kaum
perempuan untuk kembali menenun. Ajakan ibu Litfina ternyata tidak membuat kaum
perempuan di komunitas Leworok sepakat.
Dengan berbagai alasan mereka menolak untuk
menenun, ada juga yang sepakat namun selanjutnya tidak berbuat apa-apa. Mendapat
tantangan seperti itu, ibu Litfina tidak patah semangat. Ia tetap berpikir
untuk menemukan cara yang jitu yang bisa menggugah kaum perempuan dan komunitas
masyarakat adat Leworok agar tetap kembali menghidupkan pekerjaan menenun.
Akhirnya ibu Litfina
menemukan ide baru yakni menciptakan sebuah tarian yang mengandung ajakan dan
pesan kepada kaum perempuan dan generasi muda untuk kembali menghidupkan
pekerjaaan menenun. Setelah berkomunikasi dengan suaminya, suaminya pun
bersedia membantu dengan membuat syair –syair lagu yang diambil dari keseluruhan
rangkaian pekerjaan menenun. Ibu Litfina menerjemahkan syair- syair lagu itu
dalam bentuk gerak tarian.
Nama tarian itu
adalah ”Pute Ture”. Tarian Pute Ture menceritakan proses terjadinya sebuah
tenunan, dari menanam benih kapas di ladang, memetik kapas, sampai memintal
benang dari kapas kemudian dilanjutkan dengan mencari kulit kayu di hutan untuk
bahan pewarna. Syair – syair dalam tarian Pute Ture sangat menggugah kaum
perempuan yang menonton. Mereka terhanyut dalam nostalgia masa lalu, masa
dimana kaum perempuan dahulu sangat sabar dan tekun menenun dan bangga memakai
hasil tenunannya sendiri di akhir tarian tersebut lirik syair lagu mengandung
makna dan kiasan pemberian warisan berupa tenunan kepada kaum perempuan sebagai
pewarisnya “Tukang pai puna nolong ai
lipu pile kala tole torum” yang berarti inilah sarung yang ditenun dalam
waktu yang sangat lama, pakailah sarung ini hasil karya dari leluhurmu, jangan
lupakan pemberian ini.
Arti dari syair
diatas juga mengajak kaum perempuan untuk kembali melaksanakan amanah leluhur
yakni menenun.
Tarian Pute Ture
dipentaskan pada tahun 2011 menjelang hari kemerdekaan RI oleh pelajar SDK
Smantonius Leworok. Tarian itu disambut hangat oleh seluruh masyarakat Adat
komunitas Leworok dan sangat menggugah para penonton.
Selesai pementasaan
tarian Pute Ture, kaum perempuan yang sebelumnya acuh tak acuh dan menolak
untuk menenun akhirnya sadar bahwa mereka berkewajiban untuk menghormati dan
mewariskan hasil pengetahuan tradisional leluhur mereka. Menenun tidak sekedar mengejar rupiah tapi menyangkut nilai budaya yang
harus dilestarikan untuk kepentingan keberlanjutan hidup bagi komnitas leworok.
Motif Khas Tenun Kelompok Tapik Bali komunitas adat Leworok
Motif khas tenun
Leworok adalah Lako Ua Ura Naga atau
sering disebut Musang dan Ular Naga. Untuk motif Naga
digunakan oleh empat suku yakni Suku Koten, Suku Kelen, Suku Hurit dan Suku
Maran. Masing – masing suku mengambil motif bagian dari wujud Naga. Suku Koten
Mengambil motif kepala Naga dan suku Maran mengambil motif Ekor Naga sedangkan
suku Kelen dan suku Hurit mengambil bagian tengah tubuh Naga. Jadi masing
–masing suku sudah memiliki motif tenun masing masing dan tidak boleh mengambil
motif suku lain. Apabila salah satu suku ingin menggabungkan motif dari keempat
motif bagian tubuh naga maka suku tersebut harus menghadirkan perwakilan
perempuan dari keempat suku dan melakukan ritual bersama.
Motif Naga hanya
digunakan untuk sarung perempuan sedangkan motif Musang digunakan untuk
sarung/kain laki – laki.
Untuk tenunan
sarung perempuan warna dasarnya adalah warna merah dan warna untuk sarung laki
– laki adalah warna hitam yang diambil dari warna binatang Musang.
Sebelum meracik
pewarna dan menenun para penenun wajib mengadakan ritual di depan alat tenun
dengan tujuan agar hasil tenunnya itu membawakan hasil yang memuaskan dan dapat
menjadi daya tarik pihak luar untuk membeli tenunan itu.
Selain dari itu
dalam ritual adat yang di buat pada perlatan tenun untuk mengingat kembali
leluhur yang dengan alam piker mereka telah menghadirkan karya seni dalam
menenun yang mempunyai nilai budaya untuk menunjukan cirri khas komunitas adat
Leworok.
Kelompok Tenun Leworok hari ini
Saat ini kelompok
Tenun Tapik Balik masih aktif menenun. Namun beberapa kendala yang dihadapi
antara lain, Pemasaran hasil produknya dan pembagian waktu untuk menenun bagi
perempuan yang sudah berkeluarga. Berkaitan dengan ketersedian bahan baku, ibu
Litfina menuturkan bahwa saat ini ia sedang menunggu hasil panen kapas yang
ditanamkan bersamaan dengan musim tanam padi ladang. Kapas dapat dipanen pada
bulan Mei 2014. Setelah dipanen kapas tersebut dijemur dan dipisahkan dari biji
kapasnya. Kapas yang sudah dipisahkan dari bijinya akan dihaluskan dan
selanjutnya kapas tersebut sudah bisa di pintal jadi benang. Untuk bahan baku
pewarna juga tidak sulit karena warna merah dari kulit kayu mudah didapatkan di
hutan.
Produk tenun ikat
kelompok Tapik Balik adalah Kwate (kain sarung), Snai dan Syal.
Hasil produk
tersebut digunakan sendiri dan ada juga yang dijual untuk menambah pendapatan keluarga. Produk tersebut juga dikenakan pada
saat acara seremonial adat atau upacara kebesaran lainnya sebagai simbol orang
adat.
Semangat perempuan
dari komunitas Leworok dalam mempertahankan budaya cukup tinggi akan tetapi
hasil dari kelompok tersebut hanya sebatas memenuhi kebutuhan sehari-hari. Saat ini juga kelompok tenun tersebut dengan
semangat mereka belum ada pihak lain seperti pemerintah untuk memberikan
dukungan moril maupun materil untuk peningkatan produksi mereka agar mempunyai
hasil yang lebih banyak. Seorang ibu rumah tangga yang pekerjaan sebagai
penenun akan tetapi berpikir tentang kehidupan orang banyak. Pertanyaan kita
bagaiman dengan pemerintah di negeri ini dan di kabupaten flores timur apakah
berani mengembalikan budaya Indonesia yang berkarakter seperti tindakan Ibu
Lilfin?. Jawabannya pasti tidak, karena
pemerintah di negeri ini menjadi pembantu dan boneka dari investor demi
kepentingan kekayaan Indonesia seperti hutan, pertanian,perkebunan dan
pertambangan.
Oleh Wenseslaus
Sen & yulius fanus mari
Biro Ekosob dan Biro Infoko PW AMAN NUSA BUNGA
Email :
amannusabunga@gmail.com