Minggu, 30 Maret 2014

Budaya menenun dapat membangkitkan kembali semangat perempuan untuk mandiri


Cerita seorang perempuan Litfin Tite Hena

Ibu Litfina adalah anak dari Keluarga Suku Koten yang tinggal di komunitas Adat Leworok Desa Lera Boleng kecamatan Titehena Flores Timur. Sejak berumur 2 tahun Lutfina sering bersama ibunya menenun. Di saat ibunya menenun Litfina asyik bermain benang layaknya orang dewasa memintal benang. Apabila ayahnya melakukan ritual adat maka Litfina selalu diajak. Sejak kecil Litfina selalu mengikuti kedua orang tuanya sewaktu melaksanakan ritual –ritual adat dan pada malam hari Litfina selalu setia mendengarkan cerita –cerita dari bapaknya tentang asal usul leluhurnya, dan juga rangkaian pristiwa sejarah yang terjadi di kampung Leworok.

Dengan terinspirasi dari cerita yang disampaikan oleh kedua orang tuanya dan juga mengalami secara langsung prosesi ritual adat maka ibu Litfina merasa terpanggil untuk berjuang mempertahankan warisan budaya dari leluhurnya.

Setiap hari tangan ibu Litfina tak pernah diam bersama alat tenunnya, dan juga kedua telapak tangannya selalu kotor oleh ramuan pewarna.
Kepada kaum perempuan di komunitas Leworok Ibu Litfina selalu memberikan motifasi dan spirit. Ibu Litfina juga sering membagi biji kapas untuk ditanam pada musim tanam padi.
Tidak hanya memperjuangkan tentang nilai-nilai budaya akan tetapi di komunitas adat memperjuangkan tentang tanah dan wilayahnya sejak Zaman penjajahan belanda.

“Tokoh pejuang masyarakat adat Leworok yang melawan kolonial Belanda pada tahun 1914 yang sering dikenal oleh komunitas adat leworok Kuda Duru. Kuda Duru menentang Belanda karena Pemerintahan Kolonial Belanda menerapkan sistem Kerja Rodi. Kuda Duru tidak mengijinkan sukunya bekerja atas paksaan Belanda. Karena dituduh membangkang terjadilah perang pada tahun 1914 antara Belanda melawan Kuda Duru. Dalam pertempuran tersebut seorang perwira Belanda tertembak dan Kuda Duru tertangkap. Kuda Duru kemudian di penjarakan di Kupang”. Sepintas kata Litfin

Lanjut Litfin menjelaskan”Untuk memperingati tokoh pejuang Kuda Duru maka komunitas Adat Leworok mengadakan upacara kemerdekaan pada tgl 17 Agustus dengan upacara Adat. Tgl 17 Agustus 2014 masyarakat Adat Leworok akan memperingati satu Abad perjuangan Kuda Duru bersama masyarakat adat melawan Belanda.
Bukti perjuangan masyarakat adat Leworok melawan Belanda terlihat pada pelataran rumah adatnya (Koken) yang dikelilingi oleh onggokan batu besar yang dijadikan benteng pertahanan,dan di salah satu rumah adat juga masih tersimpan bekas peralatan senapan’’

Kembali mempertahankan budaya menenun

Menenun  adalah tradisi budaya yang diwariskan   oleh leluhur  sejak dahulu sampai sekarang ini untuk mentukan kemandirian hidup masyarakat  adat dalam mempertahankan hidup. Kali ini tulisan ini akan mengisahkan perjuangan bagi perempuan adat yang mempertahankan budaya menenun.

Litfina Lito Kelen adalah seorang perempuan yang sampai saat ini masih mempertahankan  budaya  menenun. Litfina ini tokoh perempuan yang di komunitas Leworok sebagai perempuan yang mempertahankan budaya warisan leluhur.

Pada tahun 2011 dikomunitas adat Leworok ibu Litfina Lito Kelen membentuk Kelompok tenun yang namanya Tapik Balik. Pada awalnya kelompok tenun itu beranggota 9 orang kemudian meluas menjadi 4 kelompok tenun ikat perempuan. Kemudian dalam perjalanan 2 kelompok bubar dan berahli usaha ke simpan pinjam. Dan untuk saat ini kelompok Tapik Balik mempunyai keangotaan sebanyak 15 orang dan ibu Litfina menjabat sebagai ketua kelompok.

“Tapik Balik” adalah nama kelompok tenun ikat kelompok perempuan di komunitas Leworok kecamatan Titehena kabupaten Flores Timur yang artinya” Kembali seperti dulu”. Maksudnya kaum perempuan kembali menenun seperti dahulu. Latar Belakang pemberian nama kelompok terinspirasi dari kondisi real kehidupan kaum perempuan di komunitas Leworok yang semakin menjauh dari pekerjaan menenun karena dipengaruhi oleh situasi kemajuan modenisasi saat ini. Nama ‘Tapik Balik” juga bermaksud ajakan dan keharusan menghargai warisan leluhur.
Alasan pemberian nama kelompok ini karena kondisi kehidupan perempuan sudah mulai jauh dari situasi yang sebenarnya  sesuai dengan tradisi kehidupan leluhur.

Menurut Ibu Litfina kelen bahwa keadaan sekarang sangat sulit bagi ibu-ibu untuk kembali menekuni pekerjaan sebagai penenun. Alasan mereka menenun adalah pekerjaan yang terlalu lama dan sulit apalagi kalau kembali menenun dengan bahan baku asli. Para ibu dan gadis desa lebih suka mengikuti arisan, usaha simpan pinjam atau pekerjaan yang lebih cepat menghasilkan uang. Dengan keadaan demikian, nilai – nilai budaya khususnya pengetahuan tradisional warisan leluhur di Komunitas Leworok semakin memudar.
Menyadari keadaan demikian, ibu Litfina dalam refleksinya menemukan beberapa trik untuk menghidupkan kembali pekerjaan menenun yang dulu ditekuni oleh kaum perempuan suku “Koten Kellen Hurit Maran”
Pada suatu hari Ibu Litfina mengutarahkan isi hatinya kepada suaminya, bahwa ia sangat prihatin dengan kehidupan kaum perempuan yang sudah berpaling dari pekerjaan menenun yang sudah diwariskan dari leluhur dan ia ingin agar pekerjaan menenun dihidupkan kembali agar warisan pengetahun menenun tetap dipertahankan untuk diwariskan ke generasi berikutnya. Mendengar keluhan dan keinginan dari ibu Litfina akhirnya suaminya bersedia untuk membantu. Kemudian ibu Litfina mengajak kaum perempuan untuk kembali menenun. Ajakan ibu Litfina ternyata tidak membuat kaum perempuan di komunitas Leworok sepakat.

 Dengan berbagai alasan mereka menolak untuk menenun, ada juga yang sepakat namun selanjutnya tidak berbuat apa-apa. Mendapat tantangan seperti itu, ibu Litfina tidak patah semangat. Ia tetap berpikir untuk menemukan cara yang jitu yang bisa menggugah kaum perempuan dan komunitas masyarakat adat Leworok agar tetap kembali menghidupkan pekerjaan menenun.

Akhirnya ibu Litfina menemukan ide baru yakni menciptakan sebuah tarian yang mengandung ajakan dan pesan kepada kaum perempuan dan generasi muda untuk kembali menghidupkan pekerjaaan menenun. Setelah berkomunikasi dengan suaminya, suaminya pun bersedia membantu dengan membuat syair –syair lagu yang diambil dari keseluruhan rangkaian pekerjaan menenun. Ibu Litfina menerjemahkan syair- syair lagu itu dalam bentuk gerak tarian.

Nama tarian itu adalah ”Pute Ture”. Tarian Pute Ture menceritakan proses terjadinya sebuah tenunan, dari menanam benih kapas di ladang, memetik kapas, sampai memintal benang dari kapas kemudian dilanjutkan dengan mencari kulit kayu di hutan untuk bahan pewarna. Syair – syair dalam tarian Pute Ture sangat menggugah kaum perempuan yang menonton. Mereka terhanyut dalam nostalgia masa lalu, masa dimana kaum perempuan dahulu sangat sabar dan tekun menenun dan bangga memakai hasil tenunannya sendiri di akhir tarian tersebut lirik syair lagu mengandung makna dan kiasan pemberian warisan berupa tenunan kepada kaum perempuan sebagai pewarisnya “Tukang pai puna nolong ai lipu pile kala tole torum” yang berarti inilah sarung yang ditenun dalam waktu yang sangat lama, pakailah sarung ini hasil karya dari leluhurmu, jangan lupakan pemberian ini.
Arti dari syair diatas juga mengajak kaum perempuan untuk kembali melaksanakan amanah leluhur yakni menenun.

Tarian Pute Ture dipentaskan pada tahun 2011 menjelang hari kemerdekaan RI oleh pelajar SDK Smantonius Leworok. Tarian itu disambut hangat oleh seluruh masyarakat Adat komunitas Leworok dan sangat menggugah para penonton.

Selesai pementasaan tarian Pute Ture, kaum perempuan yang sebelumnya acuh tak acuh dan menolak untuk menenun akhirnya sadar bahwa mereka berkewajiban untuk menghormati dan mewariskan hasil pengetahuan tradisional leluhur mereka. Menenun tidak sekedar mengejar rupiah tapi menyangkut nilai budaya yang harus dilestarikan untuk kepentingan keberlanjutan hidup bagi komnitas leworok.

Motif Khas Tenun Kelompok Tapik Bali komunitas adat Leworok

Motif khas tenun Leworok adalah Lako Ua Ura Naga  atau sering disebut Musang dan Ular Naga. Untuk motif Naga digunakan oleh empat suku yakni Suku Koten, Suku Kelen, Suku Hurit dan Suku Maran. Masing – masing suku mengambil motif bagian dari wujud Naga. Suku Koten Mengambil motif kepala Naga dan suku Maran mengambil motif Ekor Naga sedangkan suku Kelen dan suku Hurit mengambil bagian tengah tubuh Naga. Jadi masing –masing suku sudah memiliki motif tenun masing masing dan tidak boleh mengambil motif suku lain. Apabila salah satu suku ingin menggabungkan motif dari keempat motif bagian tubuh naga maka suku tersebut harus menghadirkan perwakilan perempuan dari keempat suku dan melakukan ritual bersama.
Motif Naga hanya digunakan untuk sarung perempuan sedangkan motif Musang digunakan untuk sarung/kain laki – laki.

Untuk tenunan sarung perempuan warna dasarnya adalah warna merah dan warna untuk sarung laki – laki adalah warna hitam yang diambil dari warna binatang Musang.
Sebelum meracik pewarna dan menenun para penenun wajib mengadakan ritual di depan alat tenun dengan tujuan agar hasil tenunnya itu membawakan hasil yang memuaskan dan dapat menjadi daya tarik pihak luar untuk membeli tenunan itu.

Selain dari itu dalam ritual adat yang di buat pada perlatan tenun untuk mengingat kembali leluhur yang dengan alam piker mereka telah menghadirkan karya seni dalam menenun yang mempunyai nilai budaya untuk menunjukan cirri khas komunitas adat Leworok.

Kelompok Tenun Leworok hari ini

Saat ini kelompok Tenun Tapik Balik masih aktif menenun. Namun beberapa kendala yang dihadapi antara lain, Pemasaran hasil produknya dan pembagian waktu untuk menenun bagi perempuan yang sudah berkeluarga. Berkaitan dengan ketersedian bahan baku, ibu Litfina menuturkan bahwa saat ini ia sedang menunggu hasil panen kapas yang ditanamkan bersamaan dengan musim tanam padi ladang. Kapas dapat dipanen pada bulan Mei 2014. Setelah dipanen kapas tersebut dijemur dan dipisahkan dari biji kapasnya. Kapas yang sudah dipisahkan dari bijinya akan dihaluskan dan selanjutnya kapas tersebut sudah bisa di pintal jadi benang. Untuk bahan baku pewarna juga tidak sulit karena warna merah dari kulit kayu mudah didapatkan di hutan.

Produk tenun ikat kelompok Tapik Balik adalah Kwate (kain sarung), Snai dan Syal.
Hasil produk tersebut digunakan sendiri dan ada juga yang dijual untuk menambah pendapatan keluarga. Produk tersebut juga dikenakan pada saat acara seremonial adat atau upacara kebesaran lainnya sebagai simbol orang adat.

Semangat perempuan dari komunitas Leworok dalam mempertahankan budaya cukup tinggi akan tetapi hasil dari kelompok tersebut hanya sebatas memenuhi kebutuhan sehari-hari.  Saat ini juga kelompok tenun tersebut dengan semangat mereka belum ada pihak lain seperti pemerintah untuk memberikan dukungan moril maupun materil untuk peningkatan produksi mereka agar mempunyai hasil yang lebih banyak. Seorang ibu rumah tangga yang pekerjaan sebagai penenun akan tetapi berpikir tentang kehidupan orang banyak. Pertanyaan kita bagaiman dengan pemerintah di negeri ini dan di kabupaten flores timur apakah berani mengembalikan budaya Indonesia yang berkarakter seperti tindakan Ibu Lilfin?.  Jawabannya pasti tidak, karena pemerintah di negeri ini menjadi pembantu dan boneka dari investor demi kepentingan kekayaan Indonesia seperti hutan, pertanian,perkebunan dan pertambangan.

Oleh Wenseslaus Sen & yulius fanus mari 
Biro Ekosob dan Biro Infoko PW AMAN NUSA BUNGA
Email : amannusabunga@gmail.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar